Jumat, 03 Desember 2010

Preskripsi Hukum Internasional untuk Keamanan Luar Angkasa

Bumi merupakan sebuah planet yang diliputi oleh lapisan atmosfer, kemudian diikuti dengan luar angkasa (antariksa) ; yaitu ruang hampa udara dimana di dalamnya terdapat Bulan sebagai satelit Bumi dan benda-benda langit lainnya. Pada jarak lebih kurang 36.000 kilometer di atas Khatulistiwa kita akan menemui orbit geostasioner ; dimana didalamnya terdapat rantai galaksi andromeda mulai dari planet Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Neptunus, dan Uranus dengan Matahari sebagai pusat peredarannya. Luar angkasa dengan segala isinya menyimpan arti begitu penting dan luas terhadap kepentingan seluruh umat manusia, sebagaimana manusia yang tidak dapat hidup tanpa bumi beserta tanah, air dan udaranya, pun demikian dengan arti luar angkasa bagi manusia, bahkan bumi sendiri sesungguhnya merupakan salah satu bagian dari luar angkasa, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya.

Terlebih bagi Indonesia, aspek pengelolaan luar angkasa (antariksa) menjadi sangat penting mengingat potensi pemanfaatan yang luar biasa besarnya ; mulai dari penelitian geografis suatu wilayah, pemantauan keadaan (seperti kepadatan atau mobilitas) penduduk di suatu negara, proyeksi cuaca dan iklim, penggunaan satelit untuk kepentingan komunikasi, perdagangan, industri bahkan intelijen, hingga persenjataan dan masih sangat banyak potensi-potensi lainnya. Pemanfaatan tersebut sebenarnya telah dimulai oleh pemerintah Indonesia yang beberapa dekade lalu dikenal dengan pembangunan di bidang kedirgantaraan, hal tersebut menujukkan bahwa Indonesia sangat berkepentingan terhadap situasi kedirgantaraannya dan serius mengikuti setiap perkembangan yang terjadi baik yang menyangkut teknis, legal dan muatan-muatan lainnya mengenai luar angkasa.

Sejarah Hukum Luar Angkasa

Pada masa-masa sebelum duluncurkannya Sputnik I oleh Uni Sovyet, status hukum kegiatan-kegiatan manusia di ruang angkasa belum merupakan masalah-masalah yang diperhatikan manusia, karena dianggap suatu hal yang spekulatif. Belum ada kesadaran maupun perhitungan akan arti kegiatan-kegiatan tersebut bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup manusia di planet Bumi ini. Maka sejak 4 Oktober 1957 (tanggal diluncurkanya Sputnik I), umat manusia (baca : bangsa-bangsa di dunia) mulai menggagas dan berupaya untuk menemukan segala implikasi ideologi, politik, ekonomi, kebudayaan, hukum dan terutama segala sesuatu yang terkait dengan pengembangan kekuatan-kekuatan militer di ruang angkasa. Namun demikian upaya nyata pembahasan mengenai jalur hukum (internasional) baru dimulai pada 28 Desember 1961, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan suara bulat menyepakati prinsip, bahwa hukum Internasional dan juga Piagam PBB, diterapkan serta berlaku terhadap angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya dan bahwa ruang angkasa, Bulan serta benda –benda langit ini bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua engara sesuai dengan Hukum Internasional, namun tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai objek pemilikan.

Peranan yang dimainkan oleh Majelis Umum PBB telah terbukti sangat besar dalam rangka menentukan arah kegiatan-kegiatan Negara-negara di ruang angkasa, melalui Resolusi Majelis Umum No. 1472 (XVI) 2 Desember 1959 dengan judul “International Cooperation in dealing with the peaceful uses of Outer Space” Majelis Umum PBB juga membentuk United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UN-COPUOS) pada tahun 1959, namun demikian panitia tersebut baru dapat bekerja setelah keanggotaannya ditambah dari 18 negara menjadi 28 negara dengan berlandaskan pada perwakilan wilayah geografis planet Bumi (Resolusi 1721 (XVI).

UN-COPUOS mulai mengadakan sidang pada tahun 1962 dan membentuk dua sub panitia, yakni sub-panitia Hukum dan bertugas menangani masalah-masalah hokum, termasuk memformulasikan prinsip yang akan dijadikan landasan kegiatan-kegiatan Negara melakukan studi pengunaan ruang (angkasa) tersebut dan Panitia lainnya ialah Sub-Panitia Teknis ilmiah dan bertugas menangani masalah-masalah teknis ilmiah eksplorasi ruang angkasa. Pada sidang I ini beberapa pertentangan langsung mengemuka, yaitu mengenai terminologi-terminologi yang hendak dibakukan seperti “peaceful uses”, “peaceful purposes”. Dalam diskusi-diskusi selanjutnya Panitia pada tahun 1963 berhasil membuahkan sebuah deklarasi Majelis Umum PBB berjudulkan “Declaration of Guiding Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space” (No. 1962, 31 Desember 1963. Deklarasi ini berhasil menempatkan diri sebagai tonggak atau “Magna Carta” Ruang Angkasa dimana di dalam isinya ditegaskan bahwa :

  1. Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa dapat dilakukan hanya untuk kesejahteraan dan kepentingan kemanusiaan;
  2. Ruang Angkasa, Bulan dan Benda-benda langit lainnya bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua Negara tanpa kecuali, berdasarkan persamaan derajat; tidak dapat dijadikan objek pemilikan nasional, dan
  3. Berada di bawah pengaturan Hukum Internasional dan Piagam PBB.
Pada akhirnya segala Prinsip-prinsip terdahul tadi oleh Majelis umum PBB berhasil dituangkan di dalam sebuah deklarasi internasional, yakni Space Treaty 1967[1].